Arbi Sanit (lahir di Painan, Sumatra Barat, 4 Juni 1939; umur 79 tahun) merupakan salah seorang ilmuwan politik Indonesia. Arbi saat ini menjadi dosen ilmu politik di Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka. Arbi Sanit merupakan anak kelima dari 11 bersaudara. Selain sebagai dosen, Arbi juga aktif terlibat dalam seminar serta pengkajian sistem politik di Indonesia. Saat ini dia terlibat aktif sebagai anggota redaksi pada Majalah Persepsi dan Majalah Ilmu dan Budaya.
Menempuh pendidikan SD dan SMP di desa Batangkapas, Painan, Pesisir Selatan, Sumatra Barat dan pada tahun 1962 melanjutka SMA di Medan. Arbi memperoleh gelar sarjana dari FISIP UI pada tahun 1969. Kemudian dia mengambil Program Non-Gelar Sistem Politik Indonesia di Universitas Wisconsin, AS (1973-1974).
Saat kuliah Arbi Sanit lebih suka belajar dan tidak mengikuti kegiatan di
kampus, sambil bekerja di perusahaan pelayaran Djakarta Lloyd hingga
menjadi asisten dosen di fakultasnya. Selama sekolah dan kuliah, dia
tergolong pendiam. Sifat pendiam itu muncul sepeninggal ayahandanya,
wedana Muara Labuh di Sumatera Barat. Sejak itu, dia jarang bermain di
luar rumah. Dia menyendiri dan lebih suka belajar. Pada masa kuliah pun,
dia tidak terlibat kegiatan kampus. Bahkan dia tidak ikut dan tidak
lulus mapram.
Arbi Sanit adalah sosok yang getol menyuarakan aspirasinya. Dia pernah memprediksi
bahwa pemilu tahun 2014 menjadi era kehancuran. Sebab sejumlah elite partai politik tersandung kasus korupsi yang membuat masyarakat sudah tidak
lagi percaya terhadap parpol. Arbi Sanit juga berpendapat sampai dengan
saat ini tidak ada satu pun partai yang mempunyai figur pemimpin panutan
masyarakat. Hal tersebut dapat menambah kemerosotan citra partai di
masyarakat. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, dia
mempunyai solusi agar parpol berani dan tegas serta selektif memilih
calon anggota dewan. Di sis lain, dia juga menulis beberapa buku. Karya
yang pernah di tulis oleh Arbi Sanit “Sistem Politik Indonesia,
Penghampiran dan Beberapa Aspek Lingkungan” di tahun 1981.
Pada pemilu tahun 2019 Arbi Sanit mengkritik kebijakan KPU yang dinilai terlalu lama dalam memberikan
masa kampanye bagi calon anggota legislatif dan pasangan calon
presiden. Masa kampanye yang terlalu lama, menurut Arbi, dimanfaatkan
para peserta pemilu untuk melancarkan propaganda-propaganda.
Arbi Sanit menilai KPU telah gagal melaksanakan pemilu sesuai marwahnya.
Peserta pemilu yang seharusnya menyampaikan informasi yang bersifat
mencerahkan, kini justru melakukan propaganda. Seharusnya kampanye itu bersifat normal, memberikan penerangan,
penjelasan dari calon kepada masyarakat. Fungsi kampanye seperti itu,
tapi partai-partai, calon-calon sekarang ini 'menekuk' pemberian
informasi itu menjadi propaganda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar